Pages

Sabtu, 24 September 2011

Kisah G30S PKI versi Sejarahwan vs versi Pemerintah dalam wawancara Tahir

Pelurusan Sejarah diambil dari seluruh Versi G30S Oleh Dr Asvi Warman Adam(versi sejarahwan)

Pelurusan sejarah, berarti menjadikan sejarah yang dulu seragam menjadi beragam. Bila dulu hanya ada satu versi mengenai Gerakan Tiga Puluh September 1965 (G30S), kini muncul berbagai versi. Selama Orde Baru hanya dikenal dan diperbolehkan satu versi: Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang G30S.

Namun, terbitnya buku-buku yang ditulis tokoh kiri seperti Kolonel Latief dan Sulami Sekretaris Gerwani, memperkuat alasan untuk meragukan versi pemerintah. Mereka mengaku disiksa sebelum dan sesudah masuk penjara. Dari proses pemeriksaan yang penuh siksaan, tentu hanya dihasilkan laporan dan persidangan yang disampaikan secara terpaksa meski tidak benar demikian. Padahal, alasan utama menganggap PKI sebagai dalang G30S adalah pengakuan tokoh-tokoh kiri itu.

Maka, muncul versi lain yang sebetulnya sudah terbit di luar negeri, hanya saja belum bisa beredar di Indonesia semasa Soeharto berkuasa. Misalnya pendapat dua ilmuwan Cornel University-AS, Benedict R Anderson dan Ruth Mc Vey, bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik intern di tubuh Angkatan Darat. Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965, SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi ini sebetulnya sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Soekarno. Yang pertama adalah "faksi tengah" yang loyal terhadap Presiden Soekarno, dipimpin Men/Pangad Letjen A Yani, hanya menentang kebijakan Soekarno tentang persatuan nasional, dimana PKI termasuk di dalamnya. Kelompok kedua, "faksi kanan" bersikap menentang kebijakan Yani yang bernapaskan Soekarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto. Menjelang tahun 1965, Soekarno mencium faksionalisme itu dan mulai memecah belah kedua kubu itu.

Peristiwa yang berdalih menyelamatkan Soekarno, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama dalam "faksi tengah". Dengan demikian, menurut Cornel Paper, akan melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan AD. Selain mendukung versi itu, WF Wertheim menambahkan, Syam Kamaruzaman yang dalam buku Putih Sekneg disebut sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah "agen rangkap" yang bekerja untuk Aidit dan AD. Bukan hanya lembaga dan kelompok, pribadi tokoh pun dikaitkan dengan peristiwa itu. Menurut Antonie Dake dan John Hughes, Presiden Soekarno terlibat dalam intrik itu. Menurut mereka, G30S adalah skenario yang disiapkan Soekarno untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi AD. PKI ikut terseret akibat amat tergantung kepada Soekarno. Belakangan, pejabat yang disoroti punya andil dalam gerakan itu adalah Jenderal Soeharto sebagaimana dituduhkan oleh bekas anak buahnya, Kolonel Latief.

Keterlibatan CIA

Di luar negeri, seperti di AS dan Inggris, perkembangan sejarah "yang gelap" itu cukup menggembirakan, karena setiap periode (25-30 tahun) ada arsip-arsip yang boleh dibuka untuk umum (declassified). Dengan demikian, dari waktu ke waktu senantiasa muncul data-data baru misalnya mengenai keterlibatan Pemerintah AS dan Inggris (terutama dinas rahasia CIA dan M16) dalam kasus tahun 1965. Seperti terlihat dalam dokumen mengenai politik luar negeri AS tahun 1964-1968 mengenai Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang sempat dipasang pada salah satu situs Internet.

Sebagai konsekuensi dari perang dingin antara blok kapitalis dengan blok komunis, AS-saat itu menghadapi Vietnam Utara yang dibantu Uni Soviet-berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan kelompok kiri. CIA membantu dengan berbagai cara dan pengucuran dana, segala usaha untuk menghancurkan PKI. Dalam dokumen itu terungkap bantuan yang diberikan pihak AS sebanyak Rp 50 juta (?) kepada KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu melalui perantaraan Adam Malik. Sebagaimana diketahui, KAP Gestapu dipimpin Subchan ZE (almarhum) dari NU dan Harry Tjan Silalahi (Katolik).

Menurut David T Johnson (1976), ada enam skenario yang dapat dijalankan Amerika Serikat dalam menghadapi situasi yang memanas di Indonesia menjelang tahun 1965: 1) Membiarkan saja, 2) Membujuk Soekarno mengubah kebijakan, 3) Menyingkirkan Soekarno, 4) Mendorong Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan, 5) Merusak kekuatan PKI, 6) Merekayasa kehancuran PKI sekaligus kejatuhan Soekarno. Ternyata skenario terakhir yang dianggap paling menguntungkan dan tepat untuk dilaksanakan.

Indikasi keterlibatan pemerintah/Dinas Rahasia Inggris dan Australia juga ada. Namun, hal itu lebih tampak setelah peristiwa G30S. Pihak Inggris membantu propaganda untuk menghancurkan PKI. Dalam buku Roland Challis (2001)-koresponden BBC yang berkedudukan di Singapura dan sering ke Jakarta menjelang peristiwa G30S-terungkap, tahun 1962 sudah ada komitmen antara Presiden AS John F Kennedy dengan Perdana Menteri Inggris Harold Macmillan bahwa Soekarno mesti di-"likuidasi". Tentara AL Inggris yang berbasis di Singapura siap membantu Pemerintah Indonesia untuk menghadapi ancaman jatuhnya Indonesia ke tangan komunis.

Menurut Mike Head (1999) "peran Australia adalah sama aktifnya dengan peran Pemerintah AS, meski skalanya lebih kecil. Dalam telegram yang dikirim dari dan ke kedutaan Australia di Jakarta, tercermin sikap bahwa Soeharto "harus bersikap lebih keras untuk menghancurkan semua dukungan bagi PKI".

Aspek Lokal dan Kodam Diponegoro

Tulisan Coen Hotzappel (dalam Journal of Contemporary Asia, vol 2, 1979) dapat dipandang dalam konteks skenario nomor 6 yang dikemukakan David T Johnson di atas. Operasi G30S dilakukan oleh tiga pasukan yaitu Pasopati, Pringgodani (dalam versi sejarah resmi disebut Gatotkaca), dan Bimasakti. Penculikan para jenderal dilakukan oleh pasukan Pasopati. Setelah itu mereka diserahkan kepada pasukan Pringgodani yang mengoordinir kegiatan di Lubang Buaya, sedangkan pasukan Bimasakti bertugas menguasai RRI, Telekomunikasi, dan teritorial.

Bersumberkan hasil pengadilan Untung dan Nyono, Coen Hotzappel mencurigai kegiatan pasukan Pringgodani yang melaksanakan kegiatan kudeta yang memang dirancang untuk gagal. Pembunuhan beberapa Jenderal yang belum semuanya tewas di Lubang Buaya dilakukan oleh pasukan Pringgodani. Gugurnya para perwira tinggi AD itu menyebabkan Presiden Soekarno tidak mau mendukung gerakan itu dan memerintahkan kepada Brigjen Suparjo untuk menghentikan operasinya. Coen menuding Sjam dan Mayor Udara Sujono sebagai tokoh sentral yang mengendalikan pasukan Pringgodani itu. Plot yang tidak matang itu menyebabkan G30S dapat ditumpas dengan cepat dan kemudian PKI yang dianggap sebagai dalang kudeta itu dihancurkan, sedangkan Soekarno yang tidak mau mengutuk PKI dijatuhkan.

Analisis Soebandrio juga menarik. Ia melihat keterlibatan Soeharto melalui dua kategori (bekas) anak buahnya di Kodam Diponegoro. Pertama, Letkol Untung dan Latief yang akan menghadapkan Dewan Jenderal kepada Presiden Soekarno (dan ini sepengetahuan Soeharto). Kedua, Yoga Sugomo dan Ali Murtopo, yang dulunya berjasa (melakukan manuver dan operasi intelijen) untuk menjadikan Soeharto sebagai Panglima Kodam Diponegoro. Yoga Sugomo ditarik Soeharto ke Jakarta untuk menjadi Kepala Intel Kostrad pada Januari 1965 ketika sedang bertugas sebagai atase militer di Yugoslavia.

Yang terjadi kemudian, peristiwa 1 Oktober 1965 yang sudah sama-sama diketahui umum. Yang menarik adalah trio pertama (Soeharto-Untung-Latief) yang dirancang untuk dikorbankan, sedangkan yang dipakai selanjutnya adalah trio kedua (Soeharto-Yoga Sugomo-Ali Murtopo). Kedua trio itu berasal dari Kodam Diponegoro. Letkol Untung sampai akhir hayat tidak yakin bahwa ia akan dieksekusi seperti dituturkannya kepada Soebandrio di Penjara Cimahi. Ia merasa Soeharto adalah bekas atasannya dan yang dianggap sebagai kawan dalam peristiwa G30S. Latief juga bekas bawahan Soeharto yang merasa dikhianati seperti terungkap dalam buku pledoi sekaligus memoarnya.

Soebandrio menyimpulkan, rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama, menyingkirkan saingannya di Angkatan Darat seperti Yani dan lain-lain. Tahap kedua, membubarkan PKI yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Tahap ketiga, melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 Menteri yang Soekarnois, termasuk Soebandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno.

Penjelasan Teoritis

Mengapa sampai terjadi beberapa versi sejarah? Jawaban yang sedikit teoritis pernah dikemukakan antara lain oleh sejarawan Perancis, Paul Veyne, dalam buku Comment on icrit l'histoire (1971). Katanya, seperti sebuah roman, sejarah bisa mengemas satu abad dalam dua halaman, bisa pula dalam seribu pagina. Sejarah itu subyektif, ia adalah proyeksi dari nilai-nilai yang kita anut dan jawaban dari pertanyaan yang kita ajukan. Bila tukang jahit bisa mengukur baju, sejarawan tidak bisa mengukur peristiwa. Peristiwa tidak punya ukuran mutlak. Satu peristiwa bisa dianggap lebih penting dari yang lain oleh sejarawan, tergantung kriteria yang ditetapkan.

Peristiwa itu tidak hadir seperti butir-butir pasir. Peristiwa itu tidak berdiri sendiri dan terisolasi. Peristiwa itu bukan makhluk tetapi persilangan rute/ trayek. Peristiwa itu bukan benda. Peristiwa adalah potongan realitas yang kita tangkap dari substansi (manusia, benda) yang berinteraksi. Bila melihat sebuah kubus, kita tidak dapat melihat semua sisinya sekaligus. Tetapi, kita dapat melipatgandakan sudut pandang ini dengan memutarnya. Peristiwa itu bukan totalitas tetapi simpul dari jaringan.

Sejarah-seperti dikatakan Paul Veyne-adalah penceritaan mengenai peristiwa dan bukan peristiwa itu sendiri. Peristiwa itu sendiri tidak bisa "diraih" oleh sejarawan secara langsung dan utuh. Ia selalu tidak lengkap dan hanya di permukaan (lateral). Dilacak melalui jejak (tekmeria). Diperlukan dokumen dan kesaksian dari para pelaku. Meski kita menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri, kejadian itu tetap tidak terliput secara keseluruhan. Itu sebabnya terdapat berbagai versi dalam sejarah. Apa yang dilakukan dari versi yang beragam itu? Tugas sejarawan kadangkala ibarat dokter, seperti pernah dikatakan Marc Ferro. Ia melakukan diagnosa. Berbagai versi itu termasuk bagian dari diagnosa. Sang dokter berusaha menyimpulkan, artinya membuat sintesa dari berbagai versi tadi dan mengeluarkan pendapat.

Kasus G30S kita jadikan contoh. Kita tahu, gerakan ini menyebut diri sebagai Gerakan Tiga Puluh September. Karena itu lebih obyektif bila peristiwa itu disebut sebagai G30S, bukan Gestapu dan bukan pula Gestok. Ada beberapa fakta yang dapat diterima.

Pertama, yang diculik adalah perwira militer (khususnya Angkatan Darat). Yang menculik berasal dari resimen Cakrabirawa yang juga berasal dari unsur Angkatan Darat. Beberapa pimpinan PKI (dalam hal ini Biro Chusus) seperti Aidit dan Sjam, dipercaya terlibat dalam gerakan itu. Sjam sendiri masih misterius, apakah dia double agent (AD dan Biro Chusus PKI) bahkan triple agent (AD, Biro Chusus PKI, dan CIA)? Beberapa dinas rahasia asing juga berperan seperti CIA. Pada tingkat lokal, Kodam Diponegoro, Jawa Tengah, merupakan kodam yang paling "terlibat" G30S. Para pelaku dan pemberantas gerakan ini paling banyak berasal dari Kodam ini. Dari data yang sudah terterima, dibuat narasi tentang peristiwa G30S.

Namun, itu saja tidak cukup. Sebuah peristiwa juga memiliki unsur kausalitas, hubungan sebab-akibat. Kondisi nasional sebelum 30 September 1965 menjadi latar belakang meletusnya gerakan ini. Saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi, sosial, dan politik yang parah. Dalam konteks internasional, sedang berkecamuk perang dingin. AS berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis.

Tragedi tahun 1965 tidak berhenti sampai 1 Oktober 1965, tetapi berkelanjutan sampai masa Orde Baru, karena dampak langsung peristiwa ini adalah pembantaian massal tahun 1965/1966 dan penahanan politik di Pulau Buru (tahun 1969-1979). Mengungkapkan rangkaian peristiwa secara utuh juga merupakan bagian dari pelurusan sejarah.

Bahkan Sampai Munculnya dokumen rahasia Antara Soeharto dengan Kennedy yang di publikasikan oleh situs Wikileaks.com telah memperkuat bukti bahwa sejarah G30S PKI versi pemerintah itu telah di rekayasa ulang oleh pemerintah pada zaman orde baru tepatnya zaman kekuasaan soeharto,,,





Wawancara Tahir (versi Pemerintah)


PERTANYAAN seputar peristiwa G30S-PKI bagai sumur tanpa dasar, tak habis-habisnya. Pemerintah Orde Baru memang telah menerbitkan buku putih tahun 1978 yang disusun sejarawan Nugroho Notosusanto. Kesimpulannya, kudeta gagal itu didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak pihak yang sejak awal menyangsikan kebenaran versi resmi itu. Salah satunya W.F. Wertheim. Dalam bukunya, Suharto and the Untung Coup?The Missing Link (1970), ia membuat analisis menggegerkan: Angkatan Daratlah yang berada di balik peristiwa berdarah itu. Ia meragukan keterlibatan PKI, yang waktu itu tengah di ambang puncak kekuasaan. Setelah kekuasaan Soeharto runtuh, polemik sejarah makin menjadi. Selepas dari bui, sejumlah eks tahanan PKI?seperti mantan Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dhani dan Kolonel (Purn.) Abdul Latief?ramai-ramai menggugat mitos Soeharto sebagai pahlawan penumpas pemberontakan itu. Kontroversi kian menghangat ketika awal Mei lalu Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara, yang berdiri pada 1998, menyatakan akan menyusun buku putih untuk meluruskan sejarah Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), khususnya menyangkut tuduhan keterlibatan mantan Kepala Staf AU Laksamana Omar Dhani dalam detik-detik pemberontakan komunis itu. Rencananya, buku dengan narasumber antara lain Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo (Komandan Pangkalan Halim 1965-1966) dan Omar Dhani itu diterbitkan pada Hari Bakti AU, 29 Juli mendatang. Polemik masih akan berlanjut. Namun, yang jelas, inilah tragedi paling berdarah sepanjang sejarah Republik. Menurut sebuah versi, tak kurang dari sejuta orang?sebagian anggota PKI, sebagian simpatisan, selebihnya cuma karena dicap komunis?disembelih warga yang memendam kesumat. Sementara itu, menurut data Departemen Dalam Negeri pada 1988, hampir 35 ribu orang dikirim ke bui. Sebagian besar di antaranya dilakukan tanpa proses pengadilan sama sekali. Dalam soal ini, peran Mayor Jenderal Purnawirawan Corps Polisi Militer (CPM) Tahir tak bisa dilepaskan. Saat itu, Overste (Letnan Kolonel) Tahir adalah Wakil Ketua atau Perwira Pelaksana Team Pemeriksa Pusat (Teperpu) yang bertanggung jawab atas pemeriksaan ribuan tahanan Gestapu. Teperpu dibentuk pada 1965 dengan surat keputusan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) waktu itu, Mayor Jenderal Soeharto (mantan presiden). Toh, Tahir bersikeras hasil pemeriksaannya itu seratus persen benar. Mantan Direktur Jenderal Bea dan Cukai (1973-1981) itu, kini 77 tahun, bahkan secara telak menuding, "Mereka (eks tahanan politik PKI) cuma memanfaatkan kemerdekaan berpendapat sekarang ini untuk membersihkan diri." Berikut ini kutipan percakapannya dengan Karaniya Dharmasaputra dan Darmawan Sepriyossa dari TEMPO, Mei lalu, di rumahnya yang asri dan luas di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta.

Bagaimana awal mula pembentukan Teperpu?
Teperpu dibentuk pada 1965, tak lama setelah pecah peristiwa G30S-PKI. Tugasnya adalah memeriksa tahanan yang tersangkut dengan pemberontakan itu. Lembaga ini berada di bawah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Seingat saya, pembentukannya berdasarkan surat keputusan khusus Pangkopkamtib waktu itu, Mayjen TNI Soeharto.
Ada berapa anggota tim itu?
Jumlahnya banyak. Saya tak begitu ingat. Yang jelas, tim ini beranggotakan pemeriksa dari kejaksaan, kepolisian, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Corps Polisi Militer (CPM). Ketuanya Direktur Polisi Militer, Mayjen (CPM) Soenarso. Saya waktu itu menjabat Wakil Ketua atau Perwira Pelaksana Teperpu. Di semua daerah juga dibentuk tim pemeriksa daerah atau teperda di bawah komando daerah militer masing-masing.
Kabarnya, karena begitu banyak tahanan, beberapa penjara baru harus dibangun?
Ya. Misalnya, pemerintah saat itu membangun Rumah Tahanan Nirbaya, dekat Jalan Lubangbuaya, Jakarta Timur. Saat itu, kami juga menggunakan rumah tahanan militer di dekat Lapanganbanteng, yang kalau enggak salah, namanya Boedi Oetomo, selain yang sudah ada, seperti Penjara Salemba dan Cipinang, Jakarta, dan juga di Tangerang.
Penempatannya sesuai dengan klasifikasi tertentu?
Ya, mereka yang dianggap tokoh utama organisasi PKI ditempatkan di rumah tahanan militer, misalnya Letkol Untung, Brigjen Soepardjo, dan mantan Menteri Luar Negeri Dr. Soebandrio. Bandrio lalu dipindah ke Nirbaya, yang kemudian dijadikan rumah tahanan untuk eks menteri yang terlibat. Kalau tidak salah, semuanya ada 17 orang.
Bagaimana sih cara menentukan keterlibatan seseorang? Benarkah banyak yang dipukul rata begitu saja?
Itu bisa saja terjadi. Tapi kami mendasarkannya pada beberapa hal. Kita mengumpulkan informasi dari masyarakat. Menjelang pemberontakan itu, PKI memperingati ulang tahunnya besar-besaran. Waktu itu, Bung Karno hadir. Nah, dari situ kan ketahuan siapa yang aktivis PKI, siapa yang cuma simpatisan. Jadi, dasarnya paling tidak dari sini. Begitu banyaknya tahanan itu karena laporan dari masyarakat. Selain itu, kami memiliki daftar tokoh PKI.
Lo, kalau cuma berdasarkan informasi warga, kan, bisa saja fitnah?
Kami menyadari hal itu. Tapi, kalau tidak kami tangkap, nanti mereka dibunuh rakyat yang ingin membalas dendam atas kekejaman PKI sebelum 1965. Itu yang kami khawatirkan. Jadi, di situ ada fungsi perlindungan dari alat negara.
Laporan masyarakat itu juga kami seleksi. Hasilnya terbagi dalam tiga kriteria. Golongan A: mereka yang cukup bukti untuk diseret ke pengadilan. Golongan B: cukup indikasinya tapi kurang bukti. Golongan ini dikarantinakan ke Pulau Buru. Soalnya, kalau dibebaskan, kami nilai akan membahayakan. Berikutnya adalah klasifikasi C: anggota biasa dan para simpatisan.
(Catatan: Menurut data Departemen Dalam Negeri tahun 1988, jumlah anggota PKI seluruhnya 1.410.333 jiwa. Golongan A: 426 orang, golongan B: 34.587, dan golongan C: 1.375.320)
Lalu, apa dasar hukum penahanan di Pulau Buru itu?
Kan, bisa diketahui dari riwayat hidupnya, orang itu aktif di PKI. Penahanan itu untuk tindak pengamanan. Kalau dibebaskan, kami khawatir, ia akan aktif lagi dan menciptakan gangguan keamanan. Mereka dianggap masih berbahaya. Mungkin kalimat "masih berbahaya" ini kurang tepat. Tapi saya tak punya kalimat lain.
Kesimpulannya, penahanan itu tidak memiliki landasan hukum?
Bukan begitu. Nanti dulu. Dasarnya adalah SOB (Staat van Orloog en Beleg) atau Undang-Undang Negara dalam Bahaya Perang. Jadi, tetap ada alasannya. Tapi, kalau diajukan ke pengadilan, bukti yang ada tidak cukup kuat. Kami sebagai pemeriksa menyadari, tindakan hukum atau proses pengadilannya terbatas. Dan kalau diajukan ke pengadilan, tak mungkin bisa diputus. Tapi, kalau dilepas, kan berbahaya. Maka, mereka dimasukkan ke golongan B. Apalagi, saat itu ada begitu banyak tahanan, sementara jumlah pemeriksa cuma sedikit. Akhirnya, disepakati dalam Teperpu, mereka diinternir saja ke Pulau Buru.
Bagaimana menentukan seseorang sebagai aktivis PKI?
Dilihat dari kegiatannya, misalnya sering melancarkan propaganda atau mengikuti rapat akbar PKI. Ini kan mudah diketahui. Soalnya, gerakan PKI waktu itu amat luas, terbuka, dan massal. Jadi, dari laporan tetangga atau ketua rukun tetangga setempat, bisa dideteksi apakah yang bersangkutan itu aktivis, kader, atau pengurus partai.
Kalau penentuan golongan A?
Ambil contoh Sudisman, yang paling mudah ditangkap. Dia adalah salah satu tokoh penting PKI. Selain itu, dia juga terlibat aktif dalam pemberontakan. Sudisman ditangkap di tempat aksi. Banyak saksi menguatkan keterlibatannya itu. Misalnya, dalam pemeriksaan Untung, terungkap bahwa Sudisman mengikuti rapat perencanaan pemberontakan. Akhirnya, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) memutuskan ia bersalah.
Proses pemeriksaannya seperti terburu-buru.
Prinsip Mahmilub itu kan harus cepat selesai. Jadi, tidak bolak-balik seperti pengadilan biasa. Sejak pemeriksaan awal, oditur (penuntut) sudah ikut. Jadi, pada waktu pemeriksa menyatakan selesai, oditur juga sudah siap. Ini untuk menghindari saat berkasnya diajukan pemeriksa, lalu jaksanya bilang, "Wah, kurang anu," dikembalikan, lalu diperiksa lagi. Jadi, berdasarkan keterangan saksi dan bukti yang terungkap dalam pemeriksaan, oditur sudah yakin bahwa yang bersangkutan memang masuk golongan A.
Anda tadi menyebut soal daftar tokoh PKI. Dari mana itu diperoleh?
Aparat keamanan seperti kepolisian, kejaksaan, dan CPM sudah memiliki data itu, khususnya bagian yang mengawasi aktivitas politik.
Sejak kapan daftar itu dibuat?
Sejak pemberontakan PKI Madiun 1948, aparat mulai menyelidiki sisa-sisa tokohnya. Waktu itu, karena ada Agresi Belanda II, penanganan peristiwa Madiun itu kan tidak tertib. Tokoh PKI itu tak semuanya bisa kita "ambil". Tapi kami mulai meneliti siapa itu Aidit, misalnya.
Juga termasuk daftar yang dibuat Dinas Rahasia Amerika (CIA)?
Aduh, saya tak begitu mengetahui soal itu. Tapi, sewaktu melaksanakan pemeriksaan, saya tak pernah memegang daftar itu.
Tapi keterlibatan CIA memang ada?
Oh, enggak. Bukan tak mau menjawab, tapi saya benar-benar tak tahu soal itu.
Sama sekali tidak ada tekanan dari luar negeri?
Tidak ada. Paling-paling wartawan asing yang datang mencari berita.
Setelah dilepas, beberapa tahanan PKI menyangkal sejarah G30S-PKI versi pemerintah selama ini. Misalnya Latief, yang mengaku telah memberi tahu Soeharto sebelumnya.
Begini, untuk menjawab itu, saya ingin menceritakan satu hal. Suatu hari, seorang wartawan kawan saya mengundang saya makan bersama Latief. Saya menolaknya, "Mau apa? Mau dibohongi? Kamu kan lebih tahu bagaimana Latief itu." Malam itu (sehari sebelum G30S-PKI meletus), Latief bukan hanya bertemu dengan Pak Harto. Ia juga bertemu dengan Pak Nas (A.H. Nasution). Di rumah Pak Nas, ia diterima adik Bu Nas. Latief tanya, "Pak Nas bangun pagi jam berapa? Salat subuh jam berapa? Makan pagi jam berapa?" Dia mengecek jadwal Pak Nas. Itu intinya. Setelah dibebaskan, ia mengeluh kenapa pemerintah tidak berbelas kasihan. Ya, karena pasukan dia yang menyerbu rumah Pak Nas.
Kalau soal pertemuan dengan Soeharto?
Sekarang ada anggapan keterangan Latief itu seolah-olah benar. Ia mengaku bertemu dengan Soeharto, dan sebagainya. Tapi ada satu bukti, sewaktu ia tertangkap setelah ditembak, di sakunya ada surat dari Mayor Jenderal TNI Pranoto Reksosamodra (Asisten III Menteri Panglima Angkatan Darat yang dinyatakan terlibat G30S-PKI). Isinya kira-kira, "Saya (Pranoto) tak lagi bisa menolong kamu."
Surat itu kan mestinya jawaban dari surat Latief. La, kalau memang Latief lebih dekat dengan Pak Harto, kenapa dia tidak lantas minta tolong saja kepada Pak Harto? Kenapa minta tolong kepada Pranoto?
Dari situ saya menilai apa yang diomongkan Latief itu banyak bohongnya. Dia juga bilang bukan PKI. Itu bohong. Latief mengikuti rapat pertama yang membahas operasi penangkapan Dewan Jenderal itu. Bahkan, dua kali rapat itu diadakan di rumahnya sendiri. Saat operasi, ia aktif di Lubangbuaya, mengatur pasukan. Saat pemeriksaan Teperpu dan di sidang Mahmilub, ia terbukti terlibat. Apa pun penilaian orang, kalau keterlibatannya tak cukup bisa dibuktikan, tak mungkin ia divonis hukuman seumur hidup.
Tapi kenapa penjelasan Soeharto soal pertemuannya dengan Latief berubah-ubah? Satu waktu ia mengaku ditemui Latief, lain waktu ia menyangkalnya.
Tak tahu saya. Itu urusan Pak Harto.
TNI Angkatan Udara akan menerbitkan buku untuk meluruskan sejarah AU dalam peristiwa G30S-PKI. Bagaimana sebenarnya keterlibatan Kepala Staf AU waktu itu, Omar Dhani?
Omar Dhani terbukti terlibat. Dia mempercayai hasutan PKI dan masuk arus taktiknya, sampai ia meyakini apa yang dilakukan PKI itu benar. Misalnya soal Dewan Jenderal. Tapi, dalam hal AURI, ya, seharusnya dipisahkan. Boleh saja mereka ingin meluruskan sejarah. Tapi, mengenai peranan Omar Dhani dan keterlibatan beberapa perwira, itu sudah terbukti.
Karena Omar Dhani memasukkan senapan Chung dari RRC, yang lalu dipergunakan PKI?
Itu salah satunya. Indikasi lain, dia adalah teman D.N. Aidit. Malam itu (30 September), Aidit berada di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Dia kabur menggunakan pesawat AURI. Tanpa izin Omar Dhani, mestinya itu kan sulit. Mungkin bisa dikatakan, Omar Dhani tidak tahu-menahu, kan itu urusan pimpinan pangkalan. Tapi, faktanya, Aidit ada di situ, lantas ada penggunaan pesawat. Itu sesuatu yang unik untuk melepaskan keterlibatan Omar Dhani dari operasi PKI. Jadi, menurut saya, kalau memang mau meluruskan sejarah, ya, berkonsultasilah dulu dengan Pusat Sejarah ABRI.
Bukankah yang jelas terlibat hanya Mayor Udara Sujono?
Ya. Tapi ada indikasi kuat soal penggunaan pesawat oleh Aidit itu. Dalam Mahmilub juga ada banyak keterangan yang mengukuhkan keterlibatan Omar Dhani ini. Waktu itu, dia divonis hukuman mati.
Benarkah tim forensik saat itu tidak menemukan indikasi penyiksaan secara sadistis pada jenazah Tujuh Pahlawan Revolusi?
Sejauh yang saya lihat, memang ada banyak tanda bekas siksaan. Kami menemukan memar dan luka pada beberapa bagian badan. Secara umum, semua jenazah luka-luka. Tapi kan mereka baru ditemukan beberapa hari kemudian.
Anda melihat dengan mata kepala sendiri?
Ya.
Dan ada luka sayatan atau alat kelamin yang tidak utuh, misalnya?
Disayat-sayat itu pengertiannya bagaimana? Pokoknya, ada bekas siksaan.
Kenapa kudeta PKI?dengan massa sekitar 3 juta orang?itu begitu mudah ditumpas?
Mengapa pemberontakannya hanya satu hari selesai? Itu kan pertanyaan Anda? Itu karena pemberontakan tersebut tidak didukung kekuatan yang betul-betul kuat. Menurut perhitungan Aidit semula, rencananya sudah matang. Mereka pikir, jika Pulau Jawa sudah bisa direbut, Indonesia bisa dikuasai.
Tapi kekuatan mereka ternyata tak seimbang untuk menghadapi ABRI. Saat Bandara Halim bisa direbut ABRI kembali, kekuatan mereka yang semula sekitar empat kompi menyusut menjadi dua kompi. Itu atas usaha Pak Harto yang menugasi beberapa perwira untuk mempengaruhi komandan mereka untuk bergabung kembali dengan TNI. Jadi, gerakan itu ternyata hanya sebegitu. La, rakyat tak bersenjata kok diminta menghadapi ABRI? Mana bisa mereka diandalkan?
Bagaimana dengan dugaan peristiwa itu adalah konflik internal AD sendiri?
Begini, sejak kelahirannya, PKI telah menyusun rencana sedemikian rupa untuk secara bertahap menguasai negara. Itu sudah banyak terbukti. Misalnya pemberontakan PKI Madiun pada 1948 yang dipimpin Muso. Sejak saat itu, mereka gencar melakukan infiltrasi ke beberapa perwira ABRI, untuk suatu saat bisa dikerahkan. Mereka juga berhasil mematahkan saingan politiknya lewat Bung Karno sehingga Partai Sarekat Islam dan Masyumi akhirnya dibubarkan.
Cuma, waktu itu PKI masih terbentur kekuatan Angkatan Darat. Dicarilah akal. Lalu, diisukan adanya Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta. Anggotanya sengaja ditiup-tiupkan Aidit terdiri atas orang-orang yang memang anti-PKI. Jadi, tidak benar itu adalah gerakan AD. Menurut informasi yang ada, itu memang gerakan PKI.
Yang aneh, kenapa Soeharto tidak menjadi target pembunuhan, padahal saat itu dia adalah orang nomor tiga di ABRI?
Itu saya enggak tahu, tapi memang Pak Harto tidak jadi sasaran.
Soeharto tidak dianggap musuh PKI?
Oh, bukan begitu. Pak Harto tidak pernah terpengaruh PKI. Sepanjang kedekatan saya dengan beliau saat menjadi Panglima Daerah Militer Diponegoro, tak ada tanda-tanda itu. Walaupun, saat itu di Ja-Teng, pengaruh PKI amat kuat.
Latief dan Untung kan pernah menjadi anak buahnya?
Untung dan Latief itu memang bekas anak buah Pak Harto. Tapi begini. Beliau itu sangat memperhatikan anak buahnya. Ketika Untung kawin, misalnya, Pak Harto datang. Itu kan lumrah karena beliau waktu itu pemimpinnya. Saat itu, Pak Harto menjabat komandan brigade, Untung menjadi komandan kompi. Menurut saya, tak ada yang aneh kenapa beliau tidak dijadikan sasaran. Saat itu, pemegang policy ada di luar AD, tapi di SUAD (Staf Umum Angkatan Darat). Pak Harto kan di pasukan. Nah, yang dianggap penting oleh PKI kan orang-orang yang memegang policy di SUAD itu.
Apa komentar Anda soal tahanan politik (tapol) PKI yang sudah dibebaskan?
Pernyataan mereka setelah keluar dari tahanan itu aneh. Mereka memanfaatkan kemerdekaan berpendapat sekarang ini untuk membersihkan diri dari noda yang pernah mereka perbuat. Mereka memutarbalikkan sejarah. Seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia, organisasi wanita onderbouw PKI), kok, mereka bilang tak pernah bersalah. Padahal, menurut kenyataan, Gerwani jelas-jelas mendukung pemberontakan itu. Saya harap masyarakat tidak mudah mempercayai kata-kata mereka.
Jadi, Anda yakin hasil pemeriksaan Teperpu itu seratus persen benar?
Saya yakin apa yang sudah diputuskan pengadilan itu seratus persen benar. Bagaimanapun, pengadilan mengambil keputusan bukan atas nama individu, tapi demi Tuhan. Memang, dalam proses penahanan, karena ada begitu banyak orang yang harus diperiksa, bisa saja terjadi kekurangtertiban.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More